Habibie & Ainun : lelaki bersinar dan perempuan disampingnya.
“Behind every successful man is a woman”
Pepatah tersebutlah yang paling cocok untuk menggambarkan intisari
pesan yang ingin disampaikan oleh satu buah buku yang ditulis oleh B.J.
Habibie: Habibie & Ainun.
Melalui buku ini, pembaca akan mendapatkan gambaran lengkap mengenai
kehidupan Habibie dan kehadiran serta sang istri tercinta di dalam
kehidpannya. Masa-masa mereka berpacaran, menikah, merantau di Jerman,
hingga berkarya di Indonesia; semuanya diceritakan dengan singkat namun
lengkap.
Selain bercerita mengenai cinta mereka, buku ini juga tentu saja
diwarnai dengan tiga hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dua
pribadi yang telah manunggal dalam jiwa, roh, batin dan nurani
sepanjang masa, sampai akhirat ini, yaitu: iptek, nasionalisme, dan
kehidupan agamis.
Ainun, sebagai tokoh sentral dalam buku ini, sepanjang hidupnya telah
sukses menjadi istri dan ibu yang baik. Tidak hanya itu, dukungan dan
cintanya kepada Habibie diwujudkan dalam bentuk mendukung visi dan
passion yang
dimiliki suaminya untuk ikut aktif membangun negeri. Tanpa mengeluh dan
protes, dirinya selalu sabar di dalam menemani dan mendukung suaminya
kemanapun suaminya pergi. Dirinya adalah sosok yang rendah hati, selalu
tersenyum, mandiri, penuh kasih sayang dan juga peduli. Tidak heran
apabila dirinya merupakan inspirasi dan semangat yang tidak pernah padam
bagi Habibie, bahkan ketika dirinya sudah tidak bersamanya lagi secara
fisik di dunia.
Pasangan Habibie-Ainun disebut-sebut sebagai Romeo & Juliet masa
kini. Saling setia hingga maut memisahkan–yang menjadi pesan utama kisah
Romeo & Juliet–telah diintepretasikan oleh pasangan ini sebagai
sikap saling mencintai, menyayangi, mendukung, memahami, memiliki dan
kemanunggalan yang tidak pernah terhenti oleh batas ruang dan waktu.
Sungguh merupakan bentuk nyata cinta yang mendatangkan inspirasi dan
layak menjadi panutan semua orang.
Namun ketika itu, saya tidak mampu lagi menahan emosi dan kesedihan
saya, karena bingung. Saya bingung karena janji yang saya pernah
berikan kepada Ainun untuk selalu mendampinginya di manapun ia berada.
Bagaimana kriteria berada “di bawah satu atap” dapat saya penuhi? Saya
memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memohon petunjukNya. Apakah saya
segera ikut saja ke liang kubur? Bagaimana caranya? Dalam keadaan
ketidakpastian, kebingungan dan sedih saya menangis.
“Ainun, jiwa, roh, batin dan nurani kita sudah manunggal dan atap
kita bersama adalah langit alam semesta. Karena itu Ainun tetap berada
di samping saya dan saya di samping Ainun, di mana saja kami sedang
berada sepanjang masa.”
Manunggal, pada akhirnya itulah kata yang tepat untuk menggambarkan
secara utuh kehidupan bersama mereka selama 48 tahun 10 bulan, dan juga
kebersamaan mereka kini hingga seterusnya meski sudah tidak satu alam
dan dimensi.
Selasa malam 30 November ini, Bacharudin Jusuf Habibie meluncurkan
buku “Habibie & Ainun” yang disebut sejumlah kalangan sebagai buku
tentang cerita cinta abadi dua anak manusia. Kehidupan penuh cinta
pasangan Habibie dan Hasri Ainun memang bisa menjadi bahan ajar menarik
untuk keadaan sosial kini yang terlalu dimabuk kabar selingkuh, cerai,
sensasi syahwat dan birahi.
Mereka menguak kisah cinta sejati dan kesetiaan yang membangkitkan
takjub, selain menjadi cermin kepada siapa keluarga-keluarga berkaca.
Kesetiaan tiada koma dari sang ilmuwan cemerlang kepada istrinya itu,
telah menegaskan bahwa cinta abadi itu ada.
Ketulusan cinta Habibie-Ainun dan keromantisan mereka mungkin seindah
kuasa cinta yang membalut perjalanan kasih Roro Mendut dan Pronocitro,
Laila dan Majnun, Mumtaz Mahal dan Shah Jehan, Guinevere dan Lancelot,
Scarlett O’Hara dan Ashley Wilkes, atau pasangan dalam roman-roman
lainnya.
Tentu saja kisah cinta Habibie-Ainun tak setragis kisah dalam
roman-roman itu. Freddy Mercury, vokalis band legendaris Queen, hanya
bisa bersenandung cinta sejati dalam lagunya, “
I was born to love
you/With every single beat of my heart// Yes, I was born to take care of
you/Every single day of my life// You are the one for me/I am the man
for you// You were made for me//“
Habibie juga melantunkan kidung amor seperti Freddy, dengan berkata,
“Ainun tercipta untuk saya, dan saya tercipta untuk Ainun.” Tapi Habibie
lebih dari itu, karena untaian syair indah itu dia terjemahkan dalam
laku keseharian kepada sang pasangan hati.
“Cinta mereka tidak pernah berkurang, justru terus bertambah,” kata
buah hati mereka, Thareq Kemal Habibie, kepada satu televisi nasional
beberapa waktu lalu. Mereka melihat satu sama lain secara mendalam, tak
hanya dari eloknya paras, indahnya lekuk tubuh atau merdunya suara.
Sebaliknya, mereka memaknai wajah mereka sebagai nilai-nilai dari mana
keluarga harmonis ditata
Mereka seolah melanggamkan puisi pujangga besar William Shakespeare,
“Di wajahmu Aku lihat kemurnian, kebenaran, dan kesetiaan.” Di tengah
dunia yang dibalut glamor, seksualitas ekstrem, pemujaan benda, dan
pernikahan berimamkan nafsu, dua sejoli itu mempertontonkan cinta sejati
yang mempesona nan menggetarkan.
Cinta sejati
Kesetiaan Habibie mengingatkan pada salah satu kisah kasih agung di
era modern, antara dua ilmuwan brilian, Pierre Curie dan Marie
Sklodowska Curie. Sebagaimana Habibie dan Ainun, Pierre dan Marie
dipersatukan oleh cinta. Keduanya tak saling mencari untung, tak pula
saling menuntut, apalagi memanipulasi kelebihan, pencapaian dan
kedudukan pasangannya. Mereka bersenyawa menjadi ekajiwa dwitubuh karena
menganggap satu sama lain sebagai belahan jiwa.
Pesona cinta memang menyentuh kalbu semua orang, dan manakala itu
merasuk pada dua anak manusia yang ikhlas berbagi rasa dan dipersatukan
oleh ketertarikan sama, maka hidup menjadi lebih berbunga. Itulah yang
dirasakan Marie dan Pierre, dan mungkin pula dinikmati Habibie dan
Ainun, serta semua pasangan sejiwa lainnya. Adalah kecerdasan dan
ketekunan Marie yang membuat Pierre jatuh hati. Setelah beberapa kali
gagal dipinang Pierre, perempuan Polandia itu menerima cinta Pierre dan
berlanjut ke pernikahan pada 1895. Pernikahan itu kian menyatukan
mereka, hingga bermitra demi sains.
Masa-masa sulit berhasil mereka lalui, karena mereka selalu berbagi,
saling mengisi dan merasa saling membutuhkan. Sukses akhirnya mereka
capai pada 1898 setelah menemukan polonium dan radium. Untuk upayanya
itu, mereka, bersama Antoine Henri Becquerel, dianugerahi Nobel Fisika
pada 1903.
Hidup Marie berantakan setelah Pierre meninggal dunia pada 1906.
Tapi, cintanya yang tak pernah padam pada suami, membuat Marie bangkit
menapaki jalan yang diretas belahan jiwanya untuk menjadi profesor
fisika dan meraih lagi Nobel kimia pada 1911. Namun, di tengah
kesuksesan itu, Marie tetap merindukan Pierre. Marie merasa dia adalah
Pierre, dan Pierre adalah dia. Pada 1934 Marie menyusul Pierre ke alam
baka karena leukemia.
Seperti Marie, Habibie juga amat kehilangan belahan jiwanya, seolah
setengah hatinya terenggut. Habibie mengatakan tak akan melewatkan
sehari pun berziarah dalam masa 40 hari setelah wafatnya sang istri.
Sungguh satu ungkap kesetiaan mendalam dari seorang pecinta sejati.
Habibie seolah mendeklamasikan puisi pujangga besar Persia,
Jalaluddin Rumi, “Aku mungkin bisa menutup bumi dengan taburan melati/
Aku dapat saja memenuhi samudera dengan tangisan/ Aku bisa saja
mengguncang surgawi dengan pepujian/ Tapi tak satu pun dari semua itu
dapat meraihmu.”
Ideal
Habibie-Ainun adalah gambaran otentik mengenai wujud
doa setiap pasangan nikah untuk hadirnya keluarga harmonis yang dibalut
kesetiaan. Habib Ali Almuhdar, guru mengaji Keluarga Besar Habibie,
berkata, “Keluarga Habibie adalah keluarga sakinah mawaddah warohmah.”
Artinya, keluarga itu senantiasa diliputi kasih sayang dan menjalankan
perintah Tuhan sehingga selalu dilimpahi rahmat-Nya.
Habibie-Ainun, serta keluarga-keluarga lain seperti mereka,
merekatkan ikatan keluarga di atas fondasi saling menyadari dan mengakui
perbedaan-perbedaan mereka. Mereka bersatu menjadi dua belahan jiwa
yang bersenyawa dalam satu tubuh di mana sang perempuan menutup
ketaksempurnaan emosi pria, sebaliknya kesenjangan nalar pada perempuan
ditutup sang pria. Jika keadaan itu membawa keutuhan kepada keduanya,
maka kebersamaan mereka adalah perkawinan sejati antardua sejiwa sehati.
Mengutip para pakar spiritual, tatkala jiwa-jiwa seperti itu menyatu,
pikiran-pikiran tentang seks tak lagi dominan. Sebaliknya, makin
dominan persatuan seks, makin hambar sebuah persenyawaan spiritual. Jika
persenyawaan spiritual itu kian kuat, maka dua jiwa itu kian rapat
menyatu. Inilah level di mana perkawinan sejati antardua belahan jiwa
telah tercipta, sebagai mana Tuhan rencanakan untuk setiap manusia.
-dikutip dari
http://afkaridiskon.blogspot.com/2011/04/habibie-dan-ainun.html-